Minggu, 14 Juni 2015

Matahari yang Tenggelam

Tak dapat kudengar, suaramu yang samar-samar. Tak dapat kutemukan, jejakmu yang kian hilang. Meski kita tak pernah berjalan sejajar, setidaknya dulu aku dapat mengikutimu dari belakang. Aku selalu dapat melihatmu, meski hanya sebatas punggungmu.

Entah mengapa aku selalu merasa bahagia di sampingku. Meski tanpa harus bercerita panjang lebar, menghabiskan waktu seharian. Menunggumu membaca koran di perpustakaan, atau mengamatimu main catur dengan teman debangkumu, aku bahagia seperti itu. Aku tau bahwa aku selalu menyulitkanmu, aku sering tak bisa nyambung dengan tutur katamu. Sekian banyak waktu yang kumiliki bersamamu, sebagian besarnya kuhabiskan untuk memandangimu dan berandai-andai bahwa suatu hari aku akan memasangkan dasi di lehermu ketika kau akan berangkat kerja, mencium tanganmu lalu berkata, "Hati-hati suamiku."

Kau terus bercerita, atau kau terus membaca. Sedangkan aku tetap memegang bukuku namun mataku terus menatap ke arahmu, aku sangat tidak ingin kehilangan setiap pergerakanmu. Aku merasa enggan mengedipkan mataku, aku takut kehilangan moment saat kau menguap, saat kau membalik lembar demi lembar bukumu, dan momen-momen lain yang sangat berarti itu untukku.

Aku sudah menjadi sedemikian gila. Aku seperti daun kering dan kau anginnya. Aku terombang-ambing karenamu. Sehingga aku jatuh ke tanah. Terhempas, terserak, terinjak. Namun, sedikitpun aku tak pernah sedih karena hal itu. Aku tetap menyayangimu. Jatuhpun aku mau, asal itu karenamu.

Kepada kamu yang telah tenggelam, sosokmu kian menjauh, sedangkan aku masih di sini-menantimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar