Minggu, 31 Agustus 2014

Aku Masih Ragu

Aku tidak sengaja lari agar kau kejar
Aku hanya tidak berani mendekat
Aku sedang menjaga hatiku dari rasa sakit
Aku takut, suatu hari perasaan ini akan kau kecewakan

Aku tidak sengaja menghindar agar lebih kau perhatikan
Aku hanya sedang menahan hatiku agar tidak jatuh terlalu dalam
Aku takut, jika hari ini aku adalah orang yang kau perjuangkan
Suatu hari aku akan menjadi orang yang kau abaikan
Aku takut, jika hari ini aku adalah orang yang selalu kau ingat
Suatu hari aku akan menjadi orang yang kau lupakan

Aku takut, jika rasaku dan rasamu tidak bisa tumbuh menjadi satu

Aku masih ragu ...

Namanya Jatuh Cinta

Dear sore yang jingga,

Kali ini aku tidak duduk di teras rumah untuk melihat anak-anak kecil pergi mengaji.
Aku di dalam rumah, di depan televisi. Sambil membolak-balik hp yang sebelumnya tidak pernah kuperlakukan seperti ini.
Kamu tau apa sebabnya?
Beginilah hati orang yang sedang menumbuhkan rasa. Yang membiarkan hatinya jatuh agar ada yang mengambilnya.

Pesan singkat yang hanya berisi selamat pagi atau sekedar menanyakan kabar saja bisa kubaca berulang-ulang. Dari awal percakapan sampai tanda titik (.) terakhir yang dia tulis, kupandangi lama-lama. Berfikir ulang, adakah kata lain yang lebih menarik untuk mejawab pertanyaan tentang kabarku hari ini.
"Aku baik-baik saja".. ahh itu sudah biasa.
"Hatiku sedang terganggu (olehmu)" ini jawaban yang aneh.
"Aku sedang bahagia." Tidak, aku rasa jawaban ini tidak tepat.
Pertanyaan "apa kabar" saja menjadi begitu sulit dicari jawabannya. Aku seperti sedang mengisi te-te-es, satu pertanyaan bisa dijawab dengan beberapa kata. Namun hanya satu kata yang bisa sesuai dengan jumlah kolom. Dan hurufnya bisa bersambung untuk jawaban berikutnya.

Susahnya menjadi orang yang sedang jatuh cinta, hal yang biasa dilakukan dengan mudah, bisa berubah menjadi sedemikian susahnya. Takut kalau-kalau yang dilakukan bisa menjauhkannya dari orang yang diharapkannya.

Namanya jatuh cinta...

Rabu, 27 Agustus 2014

Pita Kupu-Kupu

"Dasar anak SD..."
Jika orang lain yang mengatakan, mungkin aku tidak akan peduli. Tapi setiap kata yang kamu ucapkan selalu menjadi penting untuk ku tanggapi.
Kamu bilang tidak ada anak SMP yang memakai pita kupu-kupu sepertiku. Kamu bilang, pelajaran matematika saja bisa semakin keren, kenapa aku tidak.
"Aku fikir saat kamu bilang aku seperti anak SD itu karena wajahku masih imut."
Iya, itu juga pemikiran anak SD. Selalu mengambil kesimpulan yang menyenangkan. Jika ada yang mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan kondisiku, seharusnya aku bisa menimbang-nimbang apa alasannya. Tidak menyimpulkan begitu saja.
Semenjak itu, aku melepasnya. Rambutku, ku urai dengan biasa. Tanpa asesoris apapun. Dengan begitu aku akan berada pada kondisi yang netral. Tidak disebut seperti anak kecil. Tidak dipandang terlalu dewasa.
Pagi itu, tanpa kusangka-sangka, kamu memberikan kotak kecil untukku. Dan aku membukannya. Pita kupu-kupu...
"Kenapa?"
"Aku ingin kamu tetap memakainya."
"Setauku kamu bukan orang yang bisa merubah keputusan dengan mudah."
"Memang. Tapi saat kamu berhenti memakainya, aku merasa lebih berbeda. Ternyata..."
"Ternyata apa?"
"Pita kupu-kupu itu yang membuatku rindu."
Haaahhh????? Waktu itu aku pikir, telingaku sedang dibisingkan oleh angin ribut. Atau bunga flamboyan sedang gugur dan tidak sengaja masuk ke telingaku sehingga suaramu tidak jelas kudengar.
Saat guruku menyebut namaku dengan keras karena aku menjadi bintang kelas, aku sangat bahagia. Tapi kata-katamu waktu itu. Lebih membuatku bahagia.
"Tapi aku tidak akan memakainya sesering yang dulu."
"Kenapa? Kamu takut kalau aku bilang seperti anak SD lagi?"
"Sebenarnya, apapun sebutan untukku, jika sebutan itu darimu, aku tidak akan peduli."
"Terus kenapa?"
"Jika dengan melepas pita kupu-kupu ini bisa membuatmu merindukanku, lalu untuk apa aku memakainya?"
Kamu tersenyum tipis. Senyuman yang tidak kamu buat-buat. Senyuman yang tidak kamu lebih-lebihkan agar aku senang. Senyummu sederhana, membuatku bahagia. Dan kali ini kamu yang tersipu. Seakan kamu malu untuk mengakui bahwa kamu sudah masuk dalam perangkap yang telah kamu buat sendiri. Lalu kita beranjak dari tempat duduk kita. Aku menyimpan pitanya ke dalam saku. Aku pergi ke kelasku.
Dan, membiarkanmu tetap merindu.

Senin, 25 Agustus 2014

Aku Tidak Ingin Mengulang

Ingatkah?
Hari kemarin saat kita masih memberikan hormat untuk bendera yang sama?
Saat itu, berjemur di lapangan upacara tidak pernah lagi ku rasakan panasnya.
Saat lagu Indonesia Raya bukan hanya menjadi simbol kemerdekaan bangsa.
Setiap liriknya terasa lebih membahagiakan melebihi lagu orang yang sedang membangun cinta.
Saat lagu Hymne Pahlawan bukan hanya menjadi jeda untuk mengheningkan cipta.
Setiap liriknya terasa lebih menyedihkan seperti lagu orang yang sedang dipatahkan hatinya.
Saat pembacaan Undang-Undang Dasar bukan hanya menjadi amanat Negara.
Setiap barisnya seperti membawa pesan-pesan berharga. Lebih bernilai dari puisi-puisi karya penulis ternama.
Aku tidak dalam keadaan lelah atau kepala yang berkunang-kunang ingin pingsan karena kepanasan.
Aku merasakannya dengan penuh kesadaran.
Kehadiranmu, menyelipkan nada bahagia dalam setiap suara yang kudengar.
Bahkan, teguran guru Sejarah saat aku ketiduran ditengah pelajaran seakan menjadi pujian yang bisa kubanggakan.
Senyummu selalu menciptakan ilusi-ilusi mustahil untukku.
Menyiratkan raut sempurna pada setiap apa yang kulihat.
Bahkan saat aku melihatmu berjalan beriringan dengan orang lain pun aku masih terus berusaha bahagia.
Mencoba menipu perasaanku yang kubiarkan tetap tumbuh cintanya.

Untuk apa?
Sekarang, saat logikaku telah bisa mengimbangi perasaanku yang selalu ingin dimanja, aku baru bisa melihat dengan benar. Aku baru merasa tidak mengerti tentang kebodohanku waktu itu. Saat seseorang yang kusayangi tidak memilihku, seharusnya aku pergi. Aku juga masih tidak mengerti tentang pilihanku saat itu. Untuk tetap mengikutimu yang telah berjalan bersama orang lain. Dan berharap kamu akan berpaling. Entah kenapa saat aku masih ABG, aku berfikir bahwa patah hati adalah bagian dari keindahan mencintai seseorang.

Dan aku sedang menertawai diriku sendiri, sekarang.

#Aku tidak ingin mengulang.

Kamis, 14 Agustus 2014

R a P a T

Selama hidupku, aku tidak pernah mengagumi apa yang dinamakan "RAPAT".
Sebuah kegiatan yang membuatku duduk diam diantara beberapa orang. Mendengarkan satu suara saja, kemudian baru saling timpal satu sama lain jika memang ada yang perlu diberi tanggapan. Kegiatan yang tidak memberikan hiburan. Membuatku merasa tua dalam beberapa saat. Dengan topik-topik yang sebenarnya tidak kupahami. 

Dan siang ini kegiatan yang membosankan itu disebut dihadapanku. Rapat pengurus OSIS menjelang Masa Orientasi Siswa baru. Aku juga tidak tau, jari dengan kesalahan syaraf mana yang telah menunjukku untuk menjadi salah satu anggota pengurus OSIS itu. Aku tidak suka berorganisasi. Aku lebih suka mengurangi gunungan bakso di kantin sekolah. Atau hal lain yang lebih membuatku merasa bahagia, diam-diam memetik buah kakao di taman sekolah misalnya. Ya, aku suka menghabiskan waktuku di taman sekolah. Aku suka membuat pengurus taman marah pagi-pagi. Aku selalu memetik bunga Tanjung tiap kali datang, karena aromanya yang membuatku tenang. Terlebih saat pelajaran Sejarah. Bunga Tanjung menina-bobokkan-ku dengan indah. Aku juga sering memetik bunga sepatu yang sudah mekar, untuk kujadikan penghias kolam di samping Mushola. Karena aku menyayangkan, kolam itu seharusnya bisa lebih enak dilihat jika ada bunga-bunga Teratai yang bermekaran. Tapi yang kulihat berbeda. Setiap aku datang ke kolam, pemandangannya selalu katak yang berenang-renang dengan bahagiannya. Ada juga yang sedang menggendong katak lain yang kupikir anaknya, sebelum akhirnya temanku memberitau bahwa yang digendong itu adalah pasangannya. Entah dapat ide darimana, aku pura-pura percaya saja.

Aku begitu tidak tega meninggalkan kegiatan bahagiaku itu untuk sebuah rapat yang hanya akan membuatku menguap berkali-kali. Tapi bagaimana pun juga, aku ini siswi yang tau adat. Aku hadir dengan langkah kaki yang susah sekali diajak maju. Seperti ada sekarung pasir diikatkan ke sisi kiri dan kanan kakiku. Jarak antara kelasku dan ruangan OSIS biasanya bisa ditempuh dengan mudah. Dengan memejamkan mata pun bisa. Tapi kali ini rasanya aku seperti di suruh lari marathon 42,195 km dengan posisi jalan yang menanjak. Dan saat akan memasuki ruangan aku sudah melihat beberapa orang termasuk ketua OSIS sedang mendiskusikan sesuatu. Aku tidak berniat untuk tau, sama sekali tidak berminat. Kira-kira lima menit kemudian kursi-kursi kosong yang berjajar rapi seperti tatanan upacara itu sudah terisi penuh dengan kepala-kepala yang tidak rata posisinya. Aku duduk paling belakang, dekat pintu kedua. Dengan rencana saat rapat selesai aku bisa langsung loncat keluar ruangan yang penuh dengan siswa siswi dengan wajah yang biasa dibuat serius itu. 

Seperti yang sudah kuprediksikan, ketua menjelaskan sejumlah agenda dan apa saja yang harus kami lakukan nanti. Setelah penjelasannya usai, ketua berkata "Ada yang ingin ditanyakan?". Pertanyaan yang ingin sekali kujawab jika aku memiliki suara lantang. Batinku sudah meronta-ronta "Ada ketua. Saya sama sekali tidak paham mengenai masalah seperti ini. Jadi boleh tidak jika saya tidak usah ikut. Saya tidak bisa apa-apa. Ini serius dan saya tidak sedang bercanda!!!". Sayangnya aku masih tau malu, jadi kata-kata yang sudah siap berbunyi itu kusembunyikan dengan rapi. Dan aku heran, teman-teman justru berebut mengacungkan tangan. Ada yang bertanya, ada yang memberi masukan. Itu interaksi yang bagus. Dan aku lebih memilih untuk menggumam "Apa lagi ini. Kapan selesainya kalau begini."
Kemudian ada suara yang menjawab pertanyaanku itu, "Sudah diam saja. Mereka juga tidak sedang benar-benar bertanya. Mereka hanya mengulur waktu untuk kembali ke kelas. Kegiatan ini membuat mereka bebas bernafas dari pelajaran atau ulangan."
Suara itu terdengar persis di sebelah kananku, aku menoleh. Dia berdiri menyandarkan sebagian tubuhnya di pintu yang terbuka itu, DIA. Sejak kapan DIA disini. Aku menelan ludahku sedikit demi sedikit. Orang yang sangat ingin kuajak bicara dan kutanyai banyak hal kali ini menjawab pernyataanku. Mungkin ini kebetulan. Atau aku salah lihat dan mendengar karena efek rapat yang membosankan. 
"Kenapa melihatku seperti itu?"
Hah, dia bertanya lagi. Aku sedang kebingungan menyusun kalimat yang baik. Ini lebih mengerikan daripada pelajaran Bahasa Indonesia. Semoga aku tidak salah bicara.
"Sejak kapan kamu disini? Kamu OSIS juga ya?" Aku balik bertanya dengan nada sok akrab.
"Aku ada disini, sudah pasti aku OSIS." Jawabnya selalu dengan nada datar.
"Terus.....?" aku mengatakan dengan nada panjang dan sedikit lirih
"Terus apa? Sejak kapan aku disini?" Aku mengangguk
"Lumayan, sudah cukup untuk melihatmu menahan dagu, melipat dahimu, menggaruk kepalamu yang tidak gatal dan sudah cukup lelah juga menghitung berapa kali kamu menguap dan menutupinya dengan topimu."
Dia dari tadi disini. Ya Tuhan, seharusnya aku bisa terlihat baik di depannya. Andai saja aku tau sejak awal bahwa DIA juga akan ada disini, pasti aku bisa datang dengan membawa sedikit alasan. Dengan perasaan yang sudah pasti bisa membunuh rasa kantukku. Perasaan yang bisa merubah suasana rapat menjadi lebih menyenangkan.
"Kamu melamun atau bagaimana sih?" Tanyanya mengagetkanku.
"Maaf."
"Dasar lemot. Ditanya apa jawabnya apa." Dan entah kenapa kata lemot darimu bisa langsung menempel dikepalaku. Seolah olah aku ingin terus mendengarmu berbicara padaku, bahkan dengan kata lemot sekalipun. 

Rapatpun selesai. Semua bubar. Aku mencarinya dan sudah tidak ada. Aku mampir ke kantin sebelum kembali ke kelas. Aku minum teh sisri rasa apel yang dibungkus kantong plastik ukuran 1/2 kiloan dengan es batu yang benjol besar dan sedotan yang rupa-rupa warnanya. Tiba-tiba ada yang duduk di sebelahku, aku menoleh. DIA (lagi).
"Tetap saja melihatku seperti itu." Singkat menegurku. "Kenapa? Mau bertanya lagi, sejak kapan aku disini?"
"Tidak. Kupikir kamu sudah kembali ke kelasmu. Kamu sudah tidak ada waktu rapat bubar tadi."
"Jadi kamu mencariku?" 
Hah, aku salah bicara lagi. Aku merasa seperti tersangka yang disuguhi barang bukti dalam sidang penentuan hukuman.
"Bukan begitu. Kan ini, kita kan banyak orang ya. Aku amati satu-satu kok. Terus pas bubar, aku masih melihat mereka, kecuali kamu. Sudah itu saja."
"Aku yakin kamu tidak mengamati satu-satu. Sejak masuk ke ruangan rapat, matamu sudah menciut. Turun berwatt-watt."
Ya ampun, harus menjawab bagaiman lagi untuk menangkis pernyataan maut itu. Salah satu cara untuk membela diri adalah alasan untuk kembali ke kelas.
"Ehmm,,, aku kembali ke kelas dulu ya."
"Tidak usah. Lima belas menit lagi bel ganti pelajaran. Sudah tanggung. Kita ke perpustakaan saja."
"Hah? Untuk apa? Disana kan tidak ada novel atau komik. Satu-satunya yang bagus cuma resep membuat kue." Tanpa menunggu jeda dia langsung tertawa.
"Kamu tertawa lepas. Ya ampun, dapat doa apa dari ibuku tadi pagi sampai aku bisa membuatmu tertawa seperti ini." Kataku dalam hati.
Kemudian DIA berdiri, aku mengikutinya. Saat diperpustakaan, DIA mengambil koran harian. Aku duduk diam saja disampingnya melihat dia membaca sekilas lalu kemudian bergumam sendirian.
"Kamu kenapa?" Tanyaku
"Klup sepakbola yang ku andalkan kalah tadi malam."
"Ohhhhhhh...." Nada panjang
"Ga usah Ohh.. Kamu juga ga ngerti kan masalah bola."
"Darimana kamu tau?"
"Aku pernah melihatmu diprotes teman-temanmu karena kamu memasukkan bola ke gawangmu sendiri."
"Yang itu ya. Aku sengaja. Biar permainan cepat berakhir." Jawabku dengan sok bijak, ini upayaku menutupi malu.
"Kalau cari alasan yang keren sedikit. Mau kamu masukin bola seribu kali permainan tidak akan berakhir sebelum 2 x 45 menit."
Ya ampun, aku malu lagi. "Memangnya seperti itu ya? Kan pelajaran olah raga cuma 90 menit. Jadi waktu itu pokok ada tim yang menang udah selesai. Kan ga main beneran."
Aku masih mengelak menyelamatkan rasa maluku.
"Sudah diam saja.Kamu pikir aku tidak tau."
Lalu aku diam daripada salah bicara lagi dan semakin menambah rasa maluku. Dan akhirnya belpun berbunyi, dia mengantarku kembali ke kelas. Kelas kami dibatasi oleh 4 kelas lain.
"Sebenarnya aku bisa ke kelas sendiri. Nanti kalau gurumu sudah masuk kelasmu lebih dulu bagaimana?" Kataku yang merasa sedikit tidak enak, dan lebih banyak merasa bahagia.
"Aku yang mengajakmu tadi. Jadi aku harus mengantarmu. Tidak usah menyuruhku untuk mampir. Ini bukan dirumahmu."
"Iya,, iya. Memangnya siapa yang mau berlaku konyol seperti itu?"
"Bukannya kamu sudah biasa berbuat konyol?"
"Apa???" Nadaku agak tinggi
"Sudah masuk. Aku mau kembali ke kelas." 
Dan dia berlalu begitu saja. Seandainya aku bisa mengulur waktu lebih lama lagi.  Seandainya aku tau kalau dia ada di belakangku sejak rapat dimulai. Seandainya aku berani menyapanya sejak lama. Pasti saat-saat indah seperti ini akan kujumpai setiap hari.
Aku masih terus memandangimu yang pergi ke arah Selatan dari kelasku. Aku terus menatap punggungmu yang tetap rata sekalipun kamu sedang mempercepat langkahmu. Aku sudah terbiasa melihatmu seperti ini. Dengan sembunyi-sembunyi ataupun dengan terang-terangan tapi tetap tidak kamu sadari. Dan hari ini, Tuhan mengajariku satu bahasa lagi. "RAPAT" bukan hanya kegiatan berkumpunya beberapa orang dalam suatu tempat untuk membahas topik tertentu. Kini, sejak percakapan kita tadi, aku menerjemahkan rapat ke lain arti. 
 RAPAT , membuat jarak antara kamu dan aku menjadi dekat. Membawa kita pada percakapan-percakapan biasa yang ku artikan dengan istimewa. Membuatku bahagia dengan perlakuanmu yang belum pernah kuduga sebelumnya. Aku mengejarmu, selalu mengejarmu. Dan setelah aku lelah berlari, kamu sendiri yang datang padaku. Dengan membawa air untuk mengikis rasa dahagaku. Membuatku merasa canggung, menyambut kenyataan yang pernah kujalani dalam khayalan. Mimpi yang menjadi nyata itu bahagia rasanya. Semoga tidak berhenti disini, semoga aku dan kamu selalu lebih dekat. Semoga ikatan ini menjadi kian RAPAT.

Ini penggalan cerita saat aku berada di Sekolah Menengah Pertama. Yang tidak bisa kugambarkan duka bahagianya. Cerita ini untuk mengabadikan rasa. Karena rasa, tidak bisa didokumentasikan bentuknya.

Rabu, 13 Agustus 2014

Reuni Akbar Tahun Depan

Aku sedang mempersiapkan diri untuk pertemuan itu. Yang sudah kunanti-nanti sejak dulu, sejak hari kelulusan. Reuni akbar tahun depan. Aku sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari seperti ini. Aku orang yang tidak bisa tergesa-gesa, kamu mengetahuinya.

Aku mempersiapkan penampilanku. Bukan karena aku ingin terlihat sempurna oleh banyak mata nanti. Aku juga tidak sedang menghindari malu karena salah kostum atau bedak yang tidak rata diwajahku. Aku hanya tidak ingin saat kamu melihatku nanti, kamu akan berkata seperti ini "kamu sudah berubah". Aku benar-benar tidak ingin kamu menilaiku seperti itu. Aku tetap ingin menjadi orang yang kamu kenal dulu.

Aku mempersiapkan telingaku baik-baik. Aku tidak ingin rasa rindu mengurangi fungsi pendengaranku. Aku takut telingaku salah menangkap kata-kata darimu. Aku takut jika kamu bertanya "bagaimana kabarmu?" akan masuk ke telingaku dengan "aku merindukanmu". Aku tidak mau keliru. Aku tidak ingin kesalahanku menangkap pertanyaanmu justru akan membuatmu merasa risih padaku.

Aku melatih dengan keras lidahku yang bisa saja tergelincir sewaktu-waktu. Aku takut jika jantung yang berlari dengan keras setiap bertemu denganmu ini akan mengendalikan perkataanku. Aku takut jika tiba-tiba mulutku mengeluarkan uneg-uneg yang sudah membatu, "aku masih mencintaimu". Maka dari itu, aku sedang mengajari fikiranku agar tidak mudah menuruti kata hatiku. Aku tidak ingin kamu anggap kejiwaanku sedang terganggu. Aku tetap ingin ada untukmu dan kamu bisa tersenyum padaku tanpa terbebani dengan igauan-igauanku yang tidak lucu.

Nanti, dipertemuan itu. Aku ingin kamu menilaiku sebagaimana penilaianmu dulu. Aku tidak berharap kamu puji-puji. Aku tidak berniat untuk kamu sanjung-sanjung. Aku hanya ingin melakukan satu hal yang selalu ku usahakan sejak dulu, membuatmu tersenyum - karena aku. Dan aku ingin mengulangnya dalam pertemuan itu.

Aku menunggumu - dalam reuni akbar tahun depan.

Apa Kau Lupa?

Kau pernah menahanku saat aku memutuskan untuk melupakanmu. Aku masih menunggu alasan kenapa aku harus menghentikan keputusan yang sudah kubuat berhari-hari lamanya dan dengan memerangi harapan egois yang tetap menginginkan untuk bersama denganmu.

Kenapa aku tidak boleh melupakanmu? Aku ini padi yang kau tanam. Kau pilihkan tanah paling subur untuk kupijak. Kau berikan pupuk paling baik agar rasaku tumbuh dengan sempurnanya. Dan ketika rasaku sudah merekah berbunga-bunga hingga mengeluarkan buahnya, kau cabut dengan paksa akarnya. Tidak bolehkah aku membenci perlakuan yang tidak adil ini? Sekian lama berharap untuk terus tumbuh dan suatu hari dapat menuai apa yang kuingin, kau dengan sadar menghentikan jalanku. Melepaskan tanganku begitu saja dari genggamanmu. Tidak cukupkah alasan ini kujadikan bahan untuk melupakanmu?

Aku bilang jangan pergi. Dengan banyak alasan untuk kau pertimbangkan. Dengan airmata yang kubiarkan keluar tanpa jeda, supaya kau iba. Tapi kau tetap pergi. Kau bilang bukan karena rasamu tak ada lagi. Kau bilang ada alasan yang akan kau ceritakan padaku lagi nanti. Dan kau tidak datang sampai saat ini.

Kaulah yang telah menyulap bazar tengah malam di pusat kota itu menjadi seperti pesta kerajaan dalam dongeng Cinderella yang pernah kubaca. Aku Cinderellanya, kau pangerannya. Aku sangat bahagia bisa hadir di pesta itu. Tertawa dan menari-nari denganmu. Malam itu seolah-olah kau adalah pangeran paling baik yang pernah kutemui. Dan kau pantas untuk dikagumi. Namun, pandanganku berubah seiring waktu yang juga terus berubah. Seperti mantra ibu peri yang akan musnah ketika bel berbunyi dua belas kali. Aku kehilangan kebahagiaan itu, pesta itu, pangeranku. Tapi bukan aku sebagai Cinderella yang sengaja lari karena takut identitasnya diketahui. Tapi kaulah yang dengan penuh kesadaran pergi dariku dan hanya meninggalkan sebilah pedang ditanganku. Yang jika sewaktu-waktu aku menemui jalan buntu untuk menemuimu, aku bisa memaksa jantungku untuk menghentikan denyutnya dengan pedang itu.

Kau meninggalkan rasa yang begitu rumit padaku. Apa kau lupa? Atau kau memang sengaja? Hanya ingin membuatku menjadi pemain drama. Memintaku untuk bahagia sejadi-jadinya. Kemudian membakarku hingga menjadi abu tak bersisa? Bisakah kau rasa apa yang kurasa? Kau hanya pura-pura lupa ...

Selasa, 12 Agustus 2014

Merindukan Sore Itu

Sore ini, saat sebagian burung sudah mulai mengajak kawanannya pulang ke sarang, aku masih duduk diam di meja kerjaku. Memandang keluar jendela yang cahaya kekuning-kuningan masuk keruanganku melalui celahnya. Perasaanku masih datar, belum beralih ke cembung ataupun ke cekung. Aku sedang berada diantara hari ini dan masa lalu. Aku ingat, setiap hari jumat dengan waktu sore tepat seperti ini kamu berlatih sepakbola. Aku meneriakkan sejumlah kata semangat yang jarang sekali kau dengar. Teriakkan orang-orang disekeliling lapangan selalu lebih riuh. Dan suaraku terjepit diantaranya. Setelah usai kamu selalu menghampiriku. Dengan beberapa tetes air minum yang sedikit tumpah dibajumu.
"Kamu terlihat lebih lelah dari pada aku." Katamu sedikit menghakimiku.
"Lain kali tidak perlu memaksakan diri untuk berteriak seperti itu. Tunggu saja di bawah pohon asam, disana tidak panas dan kamu masih bisa melihatku." Lanjutmu.
"Aku hanya ingin melihatmu lebih dekat. Supaya kamu juga bisa melihatku. Aku berupaya membesarkan suara yang seperti bebek ini supaya kamu mendengar bahwa aku selalu berusaha memberikan semangat untukmu." Jawabku
"Tidak perlu."
"Hah? Kamu tidak ingin aku memberi semangat padamu?"
"Lemot". Ya kamu biasa memanggilku begitu.
"Iya, ada apa?"
"Aku tidak sedang memanggilmu. Aku sedang mengataimu"
"Hah, kenapa?"
"Kalo aku memintamu jangan melakukan itu bukan berati aku tidak ingin kamu semangati." Terangmu padaku
"Terus...?" Jawabku tak mengerti
"Tunggulah di tempat yang seharusnya. Aku tidak ingin kamu memaksakan dirimu seperti itu. Tanpa kamu harus berteriak pun aku tau kamu akan selalu mendukungku. Tanpa harus berdiri di tepi lapangan pun. Aku tau kamu tetap menungguku."
Aku diam tanda mengerti penjelasanmu. Dan aku diam karena kamu selalu menginginkan yang terbaik untukku.
Setelah permintaanmu sore itu, setiap jumat sore berikutnya aku menunggumu di bawah pohon asam. Tanpa berteriak. Sampai kamu datang dan menyampaikan kemenanganmu. Ya, aku selalu menunggumu. Bukan hanya di sore itu. Tapi juga di sore ini. Dan entah sampai berapa sore lagi...

Aku Melihat Kepergianmu

Aku melihat kepergianmu dengan samar-samar
Aku ada dibalik orang-orang yang dengan biasa saja melepaskanmu
Sedangkan aku berjuang sendiri menyembunyikan ketidakrelaanku

Aku melihat kepergianmu dengan pandangan yang dikaburkan airmataku
Saat itu, aku adalah orang yang berada di barisan paling belakang
Aku sama sekali tidak mendukungmu
Aku membiarkan kepergianmu dengan hati yang terlampau gagu
Sedangkan kamu berlalu dengan keteguhan hatimu
Jawaban iya atau tidak dariku tidak akan mempengaruhi keputusanmu

Aku sengaja tidak menjadi orang yang ada disampingmu saat itu
Aku lebih memilih berdiri dibalik pintu pagar rumahmu
Aku tidak berani menatap langkah yang semakin kamu jauhkan dariku
Dan kamu tidak berbalik arah mencariku
Kamu terlalu berbahagia untuk menjalani hidup baru, menyambut mimpimu

Aku ini orang yang merepotkan bukan?
Aku ingin kamu bahagia, aku ingin kamu mendapat semua yang terbaik untukmu
Tapi aku masih saja ingin menghalangimu
Aku ingin kamu tetap disini dan bersamaku
Aku takut kamu akan lupa padaku, aku melepasmu dengan ragu-ragu

Aku yakin disana kamu akan baik-baik saja
Tempatmu nanti akan selalu ramah pada pencipta senyum sepertimu
Tapi sebagai orang yang selalu berharap penuh padamu, aku meragukan rasamu
Rasa yang kamu biarkan mengalir dengan derasnya
Yang jika ada limbah pencemar, kamu akan terlambat menyadarinya

Sudahlah, apapun kataku tidak akan semudah itu mengubah hidupmu. Kamu sedang sibuk mengejar mimpimu. Dan aku sedang sibuk meramu mantra-mantra ajaib untuk menguatkan ingatanmu -padaku.

Rabu, 06 Agustus 2014

Diam di Tengah Jalan

Aku masih belum tau betul, sedang berada di jalan manakah aku ini. Aku tidak sedang tersesat. Aku hanya sedang berdiri di tengah jalan. Dan yang sedang kuhadapi adalah jalan yang bercabang. Harus kubawa kemana langkah kakiku ini. Aku selalu merasa bahwa jalan yang lurus tidak selamanya membawaku pada kebaikan. Terkadang jalan kecil yang penuh dengan lubang, itu justru menyediakan istana indah pada akhirnya. Aku tidak pernah berani begitu saja mengambil keputusan. Harus bagaimana aku?
Bayangan diujung sana terlihat samar samar. Diujung jalan lurus yang sedang kuinjak ini. Tampak seperti bukit atau menara atau pohon tinggi. Entahlah, pandanganku dikaburkan oleh kabut tebal yang melayang beriringan. Jika itu bukit, itu bukit dengan bunga bunga yang indah dan buah buahan manis atau bukit yang dipenuhi dengan tanaman berduri dan beracun?
Jika itu menara, itu menara dari sebuah istana berlian atau menara persemayaman ratu sihir seperti tempat disekapnya Rapuncel? Dan jika itu pohon tinggi, itu pohon tinggi yang membuatkanku tangga menuju langit ataukah pohon tinggi yang akan segera tumbang dan menindihku saat aku datang?
Aku menarik nafasku sedikit demi sedikit. Keraguan ini, membuatku susah berfikir. Harus kemanakah aku? Jika aku mengambil jalan cabang itu, aku tidak pernah tau apa yang akan kutemui disana. Pandanganku terhadap jalan itu terputus, hanya nampak sepenggal karena jalan itu berbelok arah. Aku mengintip, mencoba meraba raba apa yang ada diujung sana. Tapi, tetap pandanganku terputus.
Jalan lurus ini, memberikan teka teki. Mengajak fikiranku berputar keras menebak nebak jawabannya dengan memberikan sedikit petunjuk. Sedangkan jalan cabang ini adalah sepenuhnya misteri. Jika aku mengambil jalan yang salah dan pada akhirnya aku menyesal, aku tidak akan bisa berbalik arah. Itulah yang akan disebut dengan masa lalu. Aku merasa hidup itu seperti permainan garis, permainanku saat aku masih SD. Saat itu disebut dengan "geblak sodor". Kita harus melewati beberapa garis dengan lawan lawan yang sudah menghadang kiri dan kanan. Jika kita bisa lolos dari terkaman mereka maka kita akan menang. Dan saat kita sudah melewati suatu garis, kita tidak boleh kembali ke tempat di garis sebelumnya. Jika kita melakukannya kita akan mati.
Dan saat aku memainkannya, aku selalu berada di posisi terjebak, tidak bisa berlari kemana mana. Hanya diam berdiri ditengah area yang sudah dibentuk segi empat dengan pertemuan garis garis itu. Menghindari jangkauan tangan lawan lawanku. Sampai kawan dalam reguku berjuang meloloskan tim kami. Dan akhirnya satu pasukan akan menang. Dan saat ini, aku merasa seperti sedang dalam permainan itu. Aku diam tak bergerak ditengah jalan. Tanpa berani melangkah ke kiri atau ke kanan. Menunggu pertolongan (petunjuk dari Yang Maha Pemberi Petunjuk). Akan kubawa kemanakah langkah ini?

Sabtu, 02 Agustus 2014

Diam Diam Rindu

Kemarin kita bertemu. Dengan percakapan yang biasa kita lakukan sebelumnya. Dengan ekspresi wajahmu yang sengaja kamu buat agar terlihat seperti biasa. Tapi, kamu tidak pandai berakting. Kamu sering menunduk setiap aku menginginkan kita bertatap. Aku sudah berusaha bersikap biasa seperti yang kamu minta sebelum pada akhirnya kita memutuskan untuk berteman saja. Dan kali ini, kamu menjadi pengingkar. Matamu mencoba menjelaskan padaku bahwa kamu masih seperti waktu itu. Dan aku rindu. Kita tidak banyak cerita. Kamu jarang bertanya padaku. Kita sama sama diam mendengarkan teman teman lain yang berbagi pengalamannya. Dan kita hanya menyerap sebagian dari kisah kisah itu. Karena perhatianku dan perhatianmu sedikit terbagi untuk mengenang kisah lalu kita. Aku tau itu, dari matamu. Aku ingin duduk disampingmu seperti dulu. Mendengarkanmu mengajariku semua hal yang terbaik. Kamu adalah guru untukku. Aku ingin mengajakmu berbicara panjang lebar tentang apa yang sudah kulalui dengan membawa nasehat nasehatmu. Aku ingin berpura pura resah dan takut agar kamu menggenggam lagi tanganku. Kamu, obat penenang yang tidak kutemukan di apotek atau lembaga medis manapun. Aku selalu tenang hanya dengan perlakuan kecilmu itu. Aku rindu senyummu. Aku ingin kamu menatapku dengan mata yang seolah olah berbicara bahwa kamu sangat menyayangiku. Tapi sayangnya, waktu itu aku harus merelakanmu pergi untuk kebaikanmu. Kamu memiliki mimpi yang harus kamu wujudkan. Dan peranku hanyalah untuk mendukungmu dan mendoakan. sekarang kamu sudah mencapai sebagian dari mimpimu itu. Dan disela selanya, aku ingin sekali menitipkan rindu ini untuk kamu bawa. Aku yakin tidak akan membebanimu. Anggap saja ini hiburan diwaktu kosongmu. Aku rindu... Aku merasakan rindu padamu. Ini bukan dosa kan? Ini bukan suatu kesalahan kan? Anggap saja ini makanan ringan untuk memberi jeda dalam kesibukan. Semoga aku masih boleh merindukanmu. Tanpa harus bersama lagi denganmu. Ya?