Kamis, 14 Agustus 2014

R a P a T

Selama hidupku, aku tidak pernah mengagumi apa yang dinamakan "RAPAT".
Sebuah kegiatan yang membuatku duduk diam diantara beberapa orang. Mendengarkan satu suara saja, kemudian baru saling timpal satu sama lain jika memang ada yang perlu diberi tanggapan. Kegiatan yang tidak memberikan hiburan. Membuatku merasa tua dalam beberapa saat. Dengan topik-topik yang sebenarnya tidak kupahami. 

Dan siang ini kegiatan yang membosankan itu disebut dihadapanku. Rapat pengurus OSIS menjelang Masa Orientasi Siswa baru. Aku juga tidak tau, jari dengan kesalahan syaraf mana yang telah menunjukku untuk menjadi salah satu anggota pengurus OSIS itu. Aku tidak suka berorganisasi. Aku lebih suka mengurangi gunungan bakso di kantin sekolah. Atau hal lain yang lebih membuatku merasa bahagia, diam-diam memetik buah kakao di taman sekolah misalnya. Ya, aku suka menghabiskan waktuku di taman sekolah. Aku suka membuat pengurus taman marah pagi-pagi. Aku selalu memetik bunga Tanjung tiap kali datang, karena aromanya yang membuatku tenang. Terlebih saat pelajaran Sejarah. Bunga Tanjung menina-bobokkan-ku dengan indah. Aku juga sering memetik bunga sepatu yang sudah mekar, untuk kujadikan penghias kolam di samping Mushola. Karena aku menyayangkan, kolam itu seharusnya bisa lebih enak dilihat jika ada bunga-bunga Teratai yang bermekaran. Tapi yang kulihat berbeda. Setiap aku datang ke kolam, pemandangannya selalu katak yang berenang-renang dengan bahagiannya. Ada juga yang sedang menggendong katak lain yang kupikir anaknya, sebelum akhirnya temanku memberitau bahwa yang digendong itu adalah pasangannya. Entah dapat ide darimana, aku pura-pura percaya saja.

Aku begitu tidak tega meninggalkan kegiatan bahagiaku itu untuk sebuah rapat yang hanya akan membuatku menguap berkali-kali. Tapi bagaimana pun juga, aku ini siswi yang tau adat. Aku hadir dengan langkah kaki yang susah sekali diajak maju. Seperti ada sekarung pasir diikatkan ke sisi kiri dan kanan kakiku. Jarak antara kelasku dan ruangan OSIS biasanya bisa ditempuh dengan mudah. Dengan memejamkan mata pun bisa. Tapi kali ini rasanya aku seperti di suruh lari marathon 42,195 km dengan posisi jalan yang menanjak. Dan saat akan memasuki ruangan aku sudah melihat beberapa orang termasuk ketua OSIS sedang mendiskusikan sesuatu. Aku tidak berniat untuk tau, sama sekali tidak berminat. Kira-kira lima menit kemudian kursi-kursi kosong yang berjajar rapi seperti tatanan upacara itu sudah terisi penuh dengan kepala-kepala yang tidak rata posisinya. Aku duduk paling belakang, dekat pintu kedua. Dengan rencana saat rapat selesai aku bisa langsung loncat keluar ruangan yang penuh dengan siswa siswi dengan wajah yang biasa dibuat serius itu. 

Seperti yang sudah kuprediksikan, ketua menjelaskan sejumlah agenda dan apa saja yang harus kami lakukan nanti. Setelah penjelasannya usai, ketua berkata "Ada yang ingin ditanyakan?". Pertanyaan yang ingin sekali kujawab jika aku memiliki suara lantang. Batinku sudah meronta-ronta "Ada ketua. Saya sama sekali tidak paham mengenai masalah seperti ini. Jadi boleh tidak jika saya tidak usah ikut. Saya tidak bisa apa-apa. Ini serius dan saya tidak sedang bercanda!!!". Sayangnya aku masih tau malu, jadi kata-kata yang sudah siap berbunyi itu kusembunyikan dengan rapi. Dan aku heran, teman-teman justru berebut mengacungkan tangan. Ada yang bertanya, ada yang memberi masukan. Itu interaksi yang bagus. Dan aku lebih memilih untuk menggumam "Apa lagi ini. Kapan selesainya kalau begini."
Kemudian ada suara yang menjawab pertanyaanku itu, "Sudah diam saja. Mereka juga tidak sedang benar-benar bertanya. Mereka hanya mengulur waktu untuk kembali ke kelas. Kegiatan ini membuat mereka bebas bernafas dari pelajaran atau ulangan."
Suara itu terdengar persis di sebelah kananku, aku menoleh. Dia berdiri menyandarkan sebagian tubuhnya di pintu yang terbuka itu, DIA. Sejak kapan DIA disini. Aku menelan ludahku sedikit demi sedikit. Orang yang sangat ingin kuajak bicara dan kutanyai banyak hal kali ini menjawab pernyataanku. Mungkin ini kebetulan. Atau aku salah lihat dan mendengar karena efek rapat yang membosankan. 
"Kenapa melihatku seperti itu?"
Hah, dia bertanya lagi. Aku sedang kebingungan menyusun kalimat yang baik. Ini lebih mengerikan daripada pelajaran Bahasa Indonesia. Semoga aku tidak salah bicara.
"Sejak kapan kamu disini? Kamu OSIS juga ya?" Aku balik bertanya dengan nada sok akrab.
"Aku ada disini, sudah pasti aku OSIS." Jawabnya selalu dengan nada datar.
"Terus.....?" aku mengatakan dengan nada panjang dan sedikit lirih
"Terus apa? Sejak kapan aku disini?" Aku mengangguk
"Lumayan, sudah cukup untuk melihatmu menahan dagu, melipat dahimu, menggaruk kepalamu yang tidak gatal dan sudah cukup lelah juga menghitung berapa kali kamu menguap dan menutupinya dengan topimu."
Dia dari tadi disini. Ya Tuhan, seharusnya aku bisa terlihat baik di depannya. Andai saja aku tau sejak awal bahwa DIA juga akan ada disini, pasti aku bisa datang dengan membawa sedikit alasan. Dengan perasaan yang sudah pasti bisa membunuh rasa kantukku. Perasaan yang bisa merubah suasana rapat menjadi lebih menyenangkan.
"Kamu melamun atau bagaimana sih?" Tanyanya mengagetkanku.
"Maaf."
"Dasar lemot. Ditanya apa jawabnya apa." Dan entah kenapa kata lemot darimu bisa langsung menempel dikepalaku. Seolah olah aku ingin terus mendengarmu berbicara padaku, bahkan dengan kata lemot sekalipun. 

Rapatpun selesai. Semua bubar. Aku mencarinya dan sudah tidak ada. Aku mampir ke kantin sebelum kembali ke kelas. Aku minum teh sisri rasa apel yang dibungkus kantong plastik ukuran 1/2 kiloan dengan es batu yang benjol besar dan sedotan yang rupa-rupa warnanya. Tiba-tiba ada yang duduk di sebelahku, aku menoleh. DIA (lagi).
"Tetap saja melihatku seperti itu." Singkat menegurku. "Kenapa? Mau bertanya lagi, sejak kapan aku disini?"
"Tidak. Kupikir kamu sudah kembali ke kelasmu. Kamu sudah tidak ada waktu rapat bubar tadi."
"Jadi kamu mencariku?" 
Hah, aku salah bicara lagi. Aku merasa seperti tersangka yang disuguhi barang bukti dalam sidang penentuan hukuman.
"Bukan begitu. Kan ini, kita kan banyak orang ya. Aku amati satu-satu kok. Terus pas bubar, aku masih melihat mereka, kecuali kamu. Sudah itu saja."
"Aku yakin kamu tidak mengamati satu-satu. Sejak masuk ke ruangan rapat, matamu sudah menciut. Turun berwatt-watt."
Ya ampun, harus menjawab bagaiman lagi untuk menangkis pernyataan maut itu. Salah satu cara untuk membela diri adalah alasan untuk kembali ke kelas.
"Ehmm,,, aku kembali ke kelas dulu ya."
"Tidak usah. Lima belas menit lagi bel ganti pelajaran. Sudah tanggung. Kita ke perpustakaan saja."
"Hah? Untuk apa? Disana kan tidak ada novel atau komik. Satu-satunya yang bagus cuma resep membuat kue." Tanpa menunggu jeda dia langsung tertawa.
"Kamu tertawa lepas. Ya ampun, dapat doa apa dari ibuku tadi pagi sampai aku bisa membuatmu tertawa seperti ini." Kataku dalam hati.
Kemudian DIA berdiri, aku mengikutinya. Saat diperpustakaan, DIA mengambil koran harian. Aku duduk diam saja disampingnya melihat dia membaca sekilas lalu kemudian bergumam sendirian.
"Kamu kenapa?" Tanyaku
"Klup sepakbola yang ku andalkan kalah tadi malam."
"Ohhhhhhh...." Nada panjang
"Ga usah Ohh.. Kamu juga ga ngerti kan masalah bola."
"Darimana kamu tau?"
"Aku pernah melihatmu diprotes teman-temanmu karena kamu memasukkan bola ke gawangmu sendiri."
"Yang itu ya. Aku sengaja. Biar permainan cepat berakhir." Jawabku dengan sok bijak, ini upayaku menutupi malu.
"Kalau cari alasan yang keren sedikit. Mau kamu masukin bola seribu kali permainan tidak akan berakhir sebelum 2 x 45 menit."
Ya ampun, aku malu lagi. "Memangnya seperti itu ya? Kan pelajaran olah raga cuma 90 menit. Jadi waktu itu pokok ada tim yang menang udah selesai. Kan ga main beneran."
Aku masih mengelak menyelamatkan rasa maluku.
"Sudah diam saja.Kamu pikir aku tidak tau."
Lalu aku diam daripada salah bicara lagi dan semakin menambah rasa maluku. Dan akhirnya belpun berbunyi, dia mengantarku kembali ke kelas. Kelas kami dibatasi oleh 4 kelas lain.
"Sebenarnya aku bisa ke kelas sendiri. Nanti kalau gurumu sudah masuk kelasmu lebih dulu bagaimana?" Kataku yang merasa sedikit tidak enak, dan lebih banyak merasa bahagia.
"Aku yang mengajakmu tadi. Jadi aku harus mengantarmu. Tidak usah menyuruhku untuk mampir. Ini bukan dirumahmu."
"Iya,, iya. Memangnya siapa yang mau berlaku konyol seperti itu?"
"Bukannya kamu sudah biasa berbuat konyol?"
"Apa???" Nadaku agak tinggi
"Sudah masuk. Aku mau kembali ke kelas." 
Dan dia berlalu begitu saja. Seandainya aku bisa mengulur waktu lebih lama lagi.  Seandainya aku tau kalau dia ada di belakangku sejak rapat dimulai. Seandainya aku berani menyapanya sejak lama. Pasti saat-saat indah seperti ini akan kujumpai setiap hari.
Aku masih terus memandangimu yang pergi ke arah Selatan dari kelasku. Aku terus menatap punggungmu yang tetap rata sekalipun kamu sedang mempercepat langkahmu. Aku sudah terbiasa melihatmu seperti ini. Dengan sembunyi-sembunyi ataupun dengan terang-terangan tapi tetap tidak kamu sadari. Dan hari ini, Tuhan mengajariku satu bahasa lagi. "RAPAT" bukan hanya kegiatan berkumpunya beberapa orang dalam suatu tempat untuk membahas topik tertentu. Kini, sejak percakapan kita tadi, aku menerjemahkan rapat ke lain arti. 
 RAPAT , membuat jarak antara kamu dan aku menjadi dekat. Membawa kita pada percakapan-percakapan biasa yang ku artikan dengan istimewa. Membuatku bahagia dengan perlakuanmu yang belum pernah kuduga sebelumnya. Aku mengejarmu, selalu mengejarmu. Dan setelah aku lelah berlari, kamu sendiri yang datang padaku. Dengan membawa air untuk mengikis rasa dahagaku. Membuatku merasa canggung, menyambut kenyataan yang pernah kujalani dalam khayalan. Mimpi yang menjadi nyata itu bahagia rasanya. Semoga tidak berhenti disini, semoga aku dan kamu selalu lebih dekat. Semoga ikatan ini menjadi kian RAPAT.

Ini penggalan cerita saat aku berada di Sekolah Menengah Pertama. Yang tidak bisa kugambarkan duka bahagianya. Cerita ini untuk mengabadikan rasa. Karena rasa, tidak bisa didokumentasikan bentuknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar