Rabu, 13 Agustus 2014

Apa Kau Lupa?

Kau pernah menahanku saat aku memutuskan untuk melupakanmu. Aku masih menunggu alasan kenapa aku harus menghentikan keputusan yang sudah kubuat berhari-hari lamanya dan dengan memerangi harapan egois yang tetap menginginkan untuk bersama denganmu.

Kenapa aku tidak boleh melupakanmu? Aku ini padi yang kau tanam. Kau pilihkan tanah paling subur untuk kupijak. Kau berikan pupuk paling baik agar rasaku tumbuh dengan sempurnanya. Dan ketika rasaku sudah merekah berbunga-bunga hingga mengeluarkan buahnya, kau cabut dengan paksa akarnya. Tidak bolehkah aku membenci perlakuan yang tidak adil ini? Sekian lama berharap untuk terus tumbuh dan suatu hari dapat menuai apa yang kuingin, kau dengan sadar menghentikan jalanku. Melepaskan tanganku begitu saja dari genggamanmu. Tidak cukupkah alasan ini kujadikan bahan untuk melupakanmu?

Aku bilang jangan pergi. Dengan banyak alasan untuk kau pertimbangkan. Dengan airmata yang kubiarkan keluar tanpa jeda, supaya kau iba. Tapi kau tetap pergi. Kau bilang bukan karena rasamu tak ada lagi. Kau bilang ada alasan yang akan kau ceritakan padaku lagi nanti. Dan kau tidak datang sampai saat ini.

Kaulah yang telah menyulap bazar tengah malam di pusat kota itu menjadi seperti pesta kerajaan dalam dongeng Cinderella yang pernah kubaca. Aku Cinderellanya, kau pangerannya. Aku sangat bahagia bisa hadir di pesta itu. Tertawa dan menari-nari denganmu. Malam itu seolah-olah kau adalah pangeran paling baik yang pernah kutemui. Dan kau pantas untuk dikagumi. Namun, pandanganku berubah seiring waktu yang juga terus berubah. Seperti mantra ibu peri yang akan musnah ketika bel berbunyi dua belas kali. Aku kehilangan kebahagiaan itu, pesta itu, pangeranku. Tapi bukan aku sebagai Cinderella yang sengaja lari karena takut identitasnya diketahui. Tapi kaulah yang dengan penuh kesadaran pergi dariku dan hanya meninggalkan sebilah pedang ditanganku. Yang jika sewaktu-waktu aku menemui jalan buntu untuk menemuimu, aku bisa memaksa jantungku untuk menghentikan denyutnya dengan pedang itu.

Kau meninggalkan rasa yang begitu rumit padaku. Apa kau lupa? Atau kau memang sengaja? Hanya ingin membuatku menjadi pemain drama. Memintaku untuk bahagia sejadi-jadinya. Kemudian membakarku hingga menjadi abu tak bersisa? Bisakah kau rasa apa yang kurasa? Kau hanya pura-pura lupa ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar