Selasa, 20 Januari 2015

Ayuni Khusnul Khotimah

Ayuni ...
Nama yang sering kali ku sebut dalam hati. Perempuan kecil mungil yang kurindukan namun jarang sekali kutemui.
Dulu, aku sangat membenci kelahirannya. Dan itu adalah sebuah kesalahan yang amat besar. Allah tidak pernah menciptakan suatu hal pun dengan sia-sia. Apalagi menciptakan seorang manusia, yang pada hukumnya manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Dan saat aku membenci kelahirannya waktu itu sama saja aku membenci apa yang diciptakan oleh Allah. Sungguh jika pasir dipantai itu amat banyak maka dosaku pastilah lebih banyak.
Bayi mungil yang masih merah dan hanya bisa menangis itu pernah ku doakan agar dia berhenti menangis, selamanya. Aku tak tau lagi harus bagaimana meminta maaf padanya. Aku ini suka anak kecil. Keponakanku, anak-anak tetanggaku dan anak kecil yang kutemui dimana saja. Aku menyukai mereka. Jika anak kecil    terluka aku tidak akan pernah tega melihatnya. Tapi, bayi kecil Ayuni sangat kubenci. Saat ibunya mencuci dan Ayuni menangis, kubiarkan saja. Padahal aku sudah diberi amanah jika dia menangis aku harus melihat apakah dia buang air atau minta susu. Dan sudah disediakan susu didalam botol. Tapi aku diam saja melihat dia menangis seperti itu. Aku memanggil ibunya agar mau mengurus Ayuni sendirian. Padahal seorang ibu yang memiliki bayi pastilah pekerjaannya berkali-kali lipat dan lelahnya pun berkali-kali lipat. Aku, amatlah berdosa.
Saat Ayuni menjelang usia tujuh bulan, saat itu aku sedang libur sekolah, aku berlibur ke rumahnya. Aku selalu dipaksa tidur di tempat tidur yang sama dengannya. Dan waktu itu bada Asar aku rebahan di tempat tidur sambil membaca. Aku hanya bersama Ayuni. Ibunya sedang memasak untuk makan malam. Mata Ayuni terus saja memandangku, ketika aku balik memandangnya dia dengan sigap mengalihkan pandangannya ke boneka yang didekapnya. Hal itu terjadi berulang kali. Aku terdiam. Aku merasa bahwa Ayuni, anak sekecil itu sudah bisa merasakan bahwa gadis gila yang sedang tiduran disampingnya itu tidak menyukai kedatangannya di dunia ini. Dan tiba-tiba saja aku ingin menangis. Perasaan bersalahku sudah mengepul tak terhingga mengingat tatapan anak sekecil itu. Mungkin dia belum bisa berfikir tapi perasaannya pasti sangatlah dalam. Tatapannya seolah-olah mengatakan bahwa dia ingin kuperhatikan. Bahwa dia menginginkan kasih sayang dariku. Aku mencium pipinya sebagai penebus rasa bersalahku. Dia diam saja. Mungkin dalam arti orang dewasa dia sedang terkejut. Aku juga terkejut menyadari apa yang kulakukan barusan. Karena selama dia terlahir di dunia ini aku belum pernah menciumnya. Aku meneruskan membaca dan tiba-tiba, tangan mungil berjari-jari halus itu merambati pipiku. Dia mulai tersenyum kepadaku. Baru kali itu dia berani tersenyum sambil menatapku. Oohh anak sekecil itu. Salah apa dia sampai aku begitu membencinya. Tangannya yang hangat terus menempel di pipiku dan aku tak berani menatapnya. Aku terdiam mengenang semuanya. Mengenang saat ayah memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dengan ibu. Mengenang saat ayah menikahi seorang perempuan yang sangat kubenci padahal meskipun dia menyandang sebutan ibu tiri dia tidaklah sejahat seperti ibu tiri dalam dongeng. Mengenang saat wanita itu hamil dan ayah begitu lembut memperhatikannya. Mengenang saat wanita itu melahirkan bayi perempuan mungil yang sempat kubenci dan sekarang sangat ku sayangi. Ayuni Khusnul Khotimah... sekarang tidak akan pernah ada yang bisa memungkiri. Engkaulah adikku tersayang. Adikku yang tidak akan pernah kekurangan cinta kasih dari kakaknya lagi. Pasti sangat berat bagimu jika orang-orang memanggilmu dengan sebutan anak dari perebut suami orang. Padahal engkau terlahir ke dunia ini dengan suci dan tak tau apa-apa. Aku adalah orang yang akan membelamu. Mereka tidak akan pernah lagi membuatmu bersedih, Ayuni. Ini janji kakakmu yang tidak akan pernah ingin melihatmu berkeluh kesah dalam hal apapun.

Ayuni kakak menyayangimu
Salam rindu kakak untukmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar