Kamis, 04 September 2014

Aku Membaca Kesepianmu

Aku tau itu bukan dirimu.
Kamu tidak sedang menjadi dirimu sendiri. Kamu hanya mengikuti peran yang diminta untuk kamu mainkan, dan kamu tidak cukup percaya diri untuk menolaknya. Kamu hanya ingin orang-orang mengakui keberadaanmu. Kamu mencoba mencari kembali perhatian yang selama ini kamu damba-dambakan dengan cara itu. Dan pada ujungnya, kamu tau itu salah.

Hingga di titik ini, saat kamu gagal memainkan peran, orang-orang memalingkan mukanya darimu. Kamu dianggap telah menyalahi aturan. kamu di tempatkan dalam keadaan yang serba tidak nyaman. Dan disaat seperti itu, kamu mencoba kembali pada dirimu yang sebenarnya. Keadaan tidak berubah. Kamu tetap dipersalahkan.

Kamu terus berjalan menggeluti waktu. Ke desa-desa, ke gunung-gunung, ke laut-laut yang belum pernah kamu kenal sebelumnya. Membawa diri bersama setengah keberanianmu. Kamu menyapa rimba, mencoba bersahabat dengannya. Mencoba mencari perlindungan barangkali suatu waktu ada binatang buas yang siap memangsamu. Mencoba bersahabat dengan karang, barangkali suatu waktu ada ombak yang siap mengombang-ambingkanmu di tengah lautan. Kamu merasa lelah. Sangat lelah. Kamu singgah ke desa, barangkali suatu waktu ada yang bersedia menjadi rumah untukmu berlindung dari panas dan hujan.

Di bawah pohon kekar yang menantang langit itu, kamu duduk dan menyandarkan lelahmu. Matamu terpejam, mencoba mengulang yang ada di belakang. Perlahan-lahan penyesalanmu membeku, merubah bentuknya ke dalam butiran air, merambati matamu yang sedikit terpejam. Menuruni pipimu, hingga jatuh di dadamu. Penyesalanmu sesak memenuhi dada, kemudian menjadi sesuatu yang kamu pikirkan, memenuhi isi kepalamu hingga akhirnya, karena kepala tidak sanggup menampung semua, dikeluarkan sedikit demi sedikit melalu air mata itu. Hingga jatuh kembali, di atas dadamu.

Kemudian kamu merasa sedikit lega, kamu membuka mata. Melihat disekitarmu dengan jelas. Rupanya airmatamu telah menyapu dengan bersih seluruh debu yang sebelumnya telah membuat kabur pandanganmu. Kamu berdiri meninggalkan pohon yang sudah mulai gerah menyanggah punggungmu. Kamu berjalan, selangkah demi selangkah. Meninggalkan, desa-desa, gunung-gunung dan laut-laut yang sudah mengajarimu bertahan hidup di dunia liar. Yang kini sudah menjadi sahabatmu. Pada akhirnya kamu harus mengucapkan selamat tinggal pada mereka. Lambaian tangan dan senyum yang mengembang mewakili rasa terima kasihmu yang amat dalam. 

Kamu berjalan, semakin menjauh. Semakin menjauh. Kamu sampai di halaman. Kamu berdiri tepat di depan pintu. Di sanalah rumahmu. Kamu telah kembali. Kamu pulang. Kamu tidak lagi kesepian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar